Ketika Kuburan Menjadi Saksi Tarbiyah

Penulis : Risaluddin (Pengurus FSIRI UNM)

Sudah empat tahun lebih saya mengikuti program tarbiyah.  Sudah banyak suka duka tarbiyah yang kulalui.  Namun, tarbiyah semalam mendatangkan cita rasa baru dalam sejarah perjalanan tarbiyahku.

Tarbiyah di kuburan.  Yah, kuburan.  Tempat yang bagi kebanyakan orang dianggap angker dan banyak setannya(baca;hantu).

 

Berbekal penerangan seadanya seperti hape dan senter(meski sebagiannya sudah lowbat).  Kami bersembilan pun berangkat menuju sebuah pemakaman umum di bilangan Antang.  Sesampai di areal pemakaman, murabbi kami langsung menggelar terpal yang ia bawa sendiri.  Terpal tersebut digelar tepat di samping areal pemakaman.  Di dekat tempat kami membuat majelis, kurang lebih 3 atau 4 meter di belakang kami samar-samar terlihat beberapa kuburan yang masih ‘basah’, mungkin karena jenazahnya baru saja dikuburkan. 

 

Dalam kegelapan malam itu, seperti biasa, kami memulai tarbiyah dengan tahsinul qiro’ah.  Satu per satu kami membaca al-Qur’an untuk didengarkan dan dikoreksi oleh murabbi.  Hanya dengan mengandalkan cahaya layar hp, kami mencoba menerangi lembaran mushaf Al-Qur’an agar bisa terbaca.

 

Saudara pembaca, jangan Anda bayangkan bahwa suasana saat itu penuh dengan aroma mistis dan angker.  Tidak sama sekali!  Kedatangan kami untuk bertarbiyah di samping kuburan bukan untuk melakukan ritual tertentu memanggil semisal memanggil arwah orang mati.  Tujuan utamanya adlah untuk mengambil ibrah dan mengingatkan kami akan kematian -yang bisa datang kapan saja. 

 

Alhamdulillah, sejak kami semua mengikuti tarbiyah, aqidah kami sedikit demi sedikit diperbaiki.  Dulunya, kami takut dengan hantu dan sejenisnya.  Tapi dalam tarbiyah diajarkan bahwa kita hanya boleh takut kepada Allah ‘azza wa jalla.  Ketakutan yang berlebihan kepada selain Allah bisa mengantarkan kepada syirik.  Lagipula, hantu-hantu sebagaimana yang banyak diyakini oleh masyarakat seperti kuntilanak, sundel bolong, genderuwo, tuyul dan jenis hantu yang lainnya tidak lain dan tidak bukan adalah hasil imajinasi orang-orang yang terlibat dalam pembuatan film.  Lalu film itu pun kita tonton. Akhirnya muncullah sosok-sosok hantu dalam kepala kita. Pun, kalau ada yang menampakkan diri, itu tidak lain dan tidak bukan kecuali jin.  Allah telah menjelaskan dalam al-Qur’an bahwa tipu daya setan itu lemah.  Jadi, buat apa takut hantu(setan)?

 

Materi tarbiyah pun dimulai.  Materi tarbiyah malam itu adalah tentang kematian.  Di antara poin paling penting yang disampaikan ustadz adalah hadits yang sangat panjang yang menerangkan tentang proses kematian seseorang hingga ia ditanya oleh malaikat dalam kuburnya.

 

Hadits panjang al-Bara’ bin ‘Azib yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani menceritakan perjalanan para manusia di alam kuburnya:

 

Suatu hari kami mengantarkan jenazah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari golongan Anshar. Sesampainya di perkuburan, liang lahad masih digali. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun duduk (menanti) dan kami juga duduk terdiam di sekitarnya seakan-akan di atas kepala kami ada burung gagak yang hinggap. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memainkan sepotong dahan di tangannya ke tanah, lalu beliau mengangkat kepalanya seraya bersabda, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur!” Beliau ulangi perintah ini dua atau tiga kali.

 

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya seorang yang beriman sudah tidak lagi menginginkan dunia dan telah mengharapkan akhirat (sakaratul maut), turunlah dari langit para malaikat yang bermuka cerah secerah sinar matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga lalu duduk di sekeliling mukmin tersebut sejauh mata memandang. Setelah itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan mengambil posisi di arah kepala mukmin tersebut. Malaikat pencabut nyawa itu berkata, ‘Wahai nyawa yang mulia keluarlah engkau untuk menjemput ampunan Allah dan keridhaan-Nya’. Maka nyawa itu (dengan mudahnya) keluar dari tubuh mukmin tersebut seperti lancarnya air yang mengalir dari mulut sebuah kendil. Lalu nyawa tersebut diambil oleh malaikat pencabut nyawa dan dalam sekejap mata diserahkan kepada para malaikat yang berwajah cerah tadi lalu dibungkus dengan kafan surga dan diberi wewangian darinya pula. Hingga terciumlah bau harum seharum wewangian yang paling harum di muka bumi.

 

Kemudian nyawa yang telah dikafani itu diangkat ke langit. Setiap melewati sekelompok malaikat di langit mereka bertanya, ‘Nyawa siapakah yang amat mulia itu?’ ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’, jawab para malaikat yang mengawalnya dengan menyebutkan namanya yang terbaik ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia mereka meminta izin untuk memasukinya, lalu diizinkan. Maka seluruh malaikat yang ada di langit itu ikut mengantarkannya menuju langit berikutnya. Hingga mereka sampai di langit ketujuh. Di sanalah Allah berfirman, ‘Tulislah nama hambaku ini di dalam kitab ‘Iliyyin. Lalu kembalikanlah ia ke (jasadnya di) bumi, karena darinyalah Aku ciptakan mereka (para manusia), dan kepadanyalah Aku akan kembalikan, serta darinyalah mereka akan Ku bangkitkan.’

 

Lalu nyawa tersebut dikembalikan ke jasadnya di dunia. Lantas datanglah dua orang malaikat yang memerintahkannya untuk duduk. Mereka berdua bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Rabbku adalah Allah’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’, ‘Agamaku Islam’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Beliau adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” jawabnya. ‘Dari mana engkau tahu?’ tanya mereka berdua. ‘Aku membaca Al-Qur’an lalu aku mengimaninya dan mempercayainya’. Tiba-tiba terdengarlah suara dari langit yang menyeru, ‘(Jawaban) hamba-Ku benar! Maka hamparkanlah surga baginya, berilah dia pakaian darinya lalu bukakanlah pintu ke arahnya’. Maka menghembuslah angin segar dan harumnya surga (memasuki kuburannya) lalu kuburannya diluaskan sepanjang mata memandang.

 

Saat itu datanglah seorang (pemuda asing) yang amat tampan memakai pakaian yang sangat indah dan berbau harum sekali, seraya berkata, ‘Bergembiralah, inilah hari yang telah dijanjikan dulu bagimu’. Mukmin tadi bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kebaikan’. ‘Aku adalah amal salehmu’ jawabnya. Si mukmin tadi pun berkata, ‘Wahai Rabbku (segerakanlah datangnya) hari kiamat, karena aku ingin bertemu dengan keluarga dan hartaku.

 

Adapun orang kafir, di saat dia dalam keadaan tidak mengharapkan akhirat dan masih menginginkan (keindahan) duniawi, turunlah dari langit malaikat yang bermuka hitam sambil membawa kain mori kasar. Lalu mereka duduk di sekelilingnya. Saat itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan duduk di arah kepalanya seraya berkata, ‘Wahai nyawa yang hina keluarlah dan jemputlah kemurkaan dan kemarahan Allah!’. Maka nyawa orang kafir tadi ‘berlarian’ di sekujur tubuhnya. Maka malaikat pencabut nyawa tadi mencabut nyawa tersebut (dengan paksa), sebagaimana seseorang yang menarik besi beruji yang menempel di kapas basah. Begitu nyawa tersebut sudah berada di tangan malaikat pencabut nyawa, sekejap mata diambil oleh para malaikat bermuka hitam yang ada di sekelilingnya, lalu nyawa tadi segera dibungkus dengan kain mori kasar. Tiba-tiba terciumlah bau busuk sebusuk bangkai yang paling busuk di muka bumi.

 

Lalu nyawa tadi dibawa ke langit. Setiap mereka melewati segerombolan malaikat mereka selalu ditanya, ‘Nyawa siapakah yang amat hina ini?’, ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’ jawab mereka dengan namanya yang terburuk ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia, mereka minta izin untuk memasukinya, namun tidak diizinkan. Rasulullah membaca firman Allah:

 

لا تفتح لهم أبواب السماء ولا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط

“Tidak akan dibukakan bagi mereka (orang-orang kafir) pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga, sampai seandainya unta bisa memasuki lobang jarum sekalipun.” (QS. Al-A’raf: 40)

 

Saat itu Allah berfirman, ‘Tulislah namanya di dalam Sijjin di bawah bumi’, Kemudian nyawa itu dicampakkan (dengan hina dina). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ta’ala:

وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيْحُ فِي مَكَانٍ سَحِيْقٍ

“Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 31)

 

Kemudian nyawa tadi dikembalikan ke jasadnya, hingga datanglah dua orang malaikat yang mendudukannya seraya bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Saat itu terdengar seruan dari langit, ‘Hamba-Ku telah berdusta! Hamparkan neraka baginya dan bukakan pintu ke arahnya’. Maka hawa panas dan bau busuk neraka pun bertiup ke dalam kuburannya. Lalu kuburannya di ‘press’ (oleh Allah) hingga tulang belulangnya (pecah dan) menancap satu sama lainnya.

 

Tiba-tiba datanglah seorang yang bermuka amat buruk memakai pakaian kotor dan berbau sangat busuk, seraya berkata, ‘Aku datang membawa kabar buruk untukmu, hari ini adalah hari yang telah dijanjikan bagimu’. Orang kafir itu seraya bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kesialan!’, ‘Aku adalah dosa-dosamu’ jawabnya. ‘Wahai Rabbku, janganlah engkau datangkan hari kiamat’ seru orang kafir tadi. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (XXX/499-503) dan dishahihkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I/39) dan al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 156)

 

Saat mendengarkan hadits tersebut, terdengar ikhwah berulang kali mengucap subhanallaah, masyaa Allah.. sehingga semakin menambah kesan mengerikannya saat-saat sakaratul maut.

 

Di akhir tarbiyah, ustadz kembali mengingatkan kami untuk terus bersiap-siap menghadapi kematian.  Kematian tidak menunggu kita siap atau tidak siap.  Jika sudah waktunya kematian kita, maka tidak ada pilihan lain lagi.   Adalah sebuah kerugian besar jika di akhir kehidupan, kita menutupnya dengan maksiat dan kelalaian.

 

Kita semua berharap agar dibimbing oleh Allah untuk mengucapkan kalimat tauhid di akhir kehidupan kita. 

 

Membahas kematian dalam suasana hening dan gelap di samping kuburan merupakan pengalaman baru dalam hidup kami.  Semoga hal ini bisa menghidupkan hati-hati yang kering karena disibukkan dengan dunia.  Semoga ibrah tarbiyah malam itu terus terkenang sehingga bisa mencegah dari berbuat maksiat kepada Allah ‘azza wa jalla.

 

(Abu Muhammad: Makassar, Senin, 21 Muharram 1435H/25 November 2013)

Categories: Uncategorized | 2 Komentar

Navigasi pos

2 thoughts on “Ketika Kuburan Menjadi Saksi Tarbiyah

  1. Muhammad Ridho

    Bersyukurlah kita, mendapat hidayah Islam dan dengan Al qur’an. Tidak satupun orang non muslim yang saya temui kecuali pasti takut dengan hal-hal ghaib dan pada akhirnya takut dengan kematian karena tidak ada penjelasan tentang hakekat sebenarnya dari hidup dan kematian….

Tinggalkan Balasan ke FSI RI UNM Batalkan balasan